Get your myspace layouts where I get them, at pYzam.com.
MySpaceLayouts

-->

Sabtu, 21 November 2009

HARI PAHLAWAN

Bangsa kita setiap tahun merayakan Hari Pahlawan pada 10 November. Pada saat itulah kita mengenang jasa para pahlawan yang telah bersedia mengorbankan harta dan nyawanya untuk memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan. Kita memilih 10 November sebagai Hari Pahlawan karena pada tanggal tersebut 61 tahun silam para pejuang kita bertempur mati-matian untuk melawan tentara Inggris di Surabaya.

Saat itu kita hanya mempunyai beberapa pucuk senjata api, selebihnya para pejuang menggunakan bambu runcing. Namun para pejuang kita tak pernah gentar untuk melawan penjajah. Kita masih ingat tokoh yang terkenal pada saat perjuangan itu yakni Bung Tomo yang mampu menyalakan semangat perjuangan rakyat lewat siaran-siarannya radionya. Ruslan Abdul Gani yang meninggal beberapa waktu lalu, adalah salah seorang pelaku sejarah waktu itu.

Setiap tahun kita mengenang jasa para pahlawan. Namun terasa, mutu peringatan itu menurun dari tahun ke tahun. Kita sudah makin tidak menghayati makna hari pahlawan. Peringatan yang kita lakukan sekarang cenderung bersifat seremonial. Memang kita tidak ikut mengorbankan nyawa seperti para pejuang di Surabaya pada waktu itu.

Tugas kita saat ini adalah memberi makna baru kepahlawanan dan mengisi kemerdekaan sesuai dengan perkembangan zaman. Saat memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan, rakyat telah mengorbankan nyawanya. Kita wajib menundukkan kepala untuk mengenang jasa-jasa mereka. Karena itulah kita merayakan Hari Pahlawan setiap 10 November.

SUMPAH PEMUDA


Siapa yang mencederai, yang membelakangi, yang melecehkan komitmen Sumpah Pemuda dan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia itu, mes-tinya berhitung bahwa mereka akan berhadapan dengan pemuda dan rakyat Indonesia secara keseluruhan yang akan merasa kedaulatan dan kehormatan-nya serasa dilukai”.
Suatu gagasan luar biasa juga dibentangkannya. Dikemukakannya bahwa jika ditelusuri secara cermat kelahiran bangsa Indonesia yang diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945, sesungguhnya dia dibangun atas dasar konsepsi SARA, yaitu dari bangunan keragaman suku, bangsa, agama dan warna kulit pemuda Indonesia dari berbagai daerah-daerahlah yang mendeklarsikan Sumpah Pemuda untuk menyatukan Indonesia dari Sabang sampai Marauke. Tetapi dipertanyakannya, justru kenapa SARA saat ini yang kemudian berbalik menjadi ancaman konflik antar masyarakat, yang hampir saja memperok-porandakan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia?
***
Kegamangan Almarhum Husni Djamaluddin yang dikenal memiliki sumber-sumber pemikiran orisinil atas kedalaman perenungan yang dikaruniahkan Tuhan kepadanya, di saat-saat melanjutkan perjuangan yang tertatih-tatih untuk --- tidak sabar lagi, segera sekarang saja! --- pembentukan Propinsi Sulawesi Barat. Dikegamangannya dikatakan bahwa kenapa untuk membentuk suatu wilayah pemerintahan propinsi saja, kita mesti dan harus bekerja keras seperti ini, harus dengan semangat “perjuangan” (sebaimana dicontohkannya penamaan yang digunakan Komite “Perjuangan” Pembentukan Propinsi Sulbar), seperti saja ketika kita berjuang dalam pencapaian kemerdekaan Indonesia.
Bukankah bangsa Indonesia katanya sudah sekian puluhan tahun telah men-capai kemerdekaannya, dan tidak ada golongan kolonialis di bangsa Indonesia yang harus di lawan. Apa juga toh salah katanya, “Mendirikan Propinsi Sulawesi Barat, bukanlah bermaksud memisahkan orang-orang Indonesia yang bersuku Mandar, dari Saudaranya yang ber-KTP R.I., orang-orang Mandar adalah juga orang Indonesia, tetap ber-KTP R.I.”, ungkapnya pada saat Kongres Rakyat mandar dilaksanakan di Majene pertengahanh 2001.
Kegelisahan tentang nasionalisme keindonesiaan semakin menguat, ketika saya bersama sekolompok anak-anak muda Mandar bermaksud menerbitkan sebuah tabloid khusus untuk mendukung perjuangan pembentukan Propinsi Sulawesi Barat. Sebagai konsultan, Alamarhum secara terbuka mengatakan ketidak-sepakatnya jika tabloid itu dinamai “Mandar Pos”, dengan dalih bahwa lagi-lagi nanti dicurigai sebagai orang-orang yang bergerak atas nama kesukuan, dipandang oleh penguasa sebagai bagian dari kaum separatis yang akan melakukan “pemberontakan” daerah.
Hanya saja Almarhum kemudian bersepakat, ketika saya mencoba memberi argumen, bahwa penamaan “Mandar” untuk tabloid ini bukanlah dalam pengertian suku, tetapi menjadi dari “Nama” dan “Identitas” dimana tabloid ini beredar, serta cakupan pemberitaannya yang mendekatkannya pada segmen pembacanya orangt-orang Mandar. Alamarhum mengangguk-angguk, sedikit agak setuju. Tetapi ketika mencoba memberi argumen dengan logika terbalik, ia tersernyum setuju.
SOEMPAH PEMOEDA

Pertama :
- KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERTOEMPAH DARAH JANG SATOE, TANAH AIR INDONESIA

Kedua :
- KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA, MENGAKOE BERBANGSA JANG SATOE, BANGSA INDONESIA

Ketiga :
- KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGJOENJOENG BAHASA PERSATOEAN, BAHASA INDONESIA

Djakarta, 28 Oktober 1928